Sekilas.co – Amnesty International Indonesia menilai bahwa situasi hak asasi manusia (HAM) dalam satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah mengalami kemunduran yang paling parah sejak era reformasi. Organisasi HAM global itu menyebut bahwa arah kebijakan negara semakin otoriter, populis, dan minim partisipasi publik.
“Sejak dilantik pada 20 Oktober 2024, tidak ada kemajuan berarti bagi pemenuhan hak asasi manusia, baik kebebasan dari rasa takut maupun dari rasa kekurangan. Sebaliknya, yang terjadi justru erosi paling serius sepanjang masa reformasi,” ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam keterangan tertulis yang dirilis, Senin, 20 Oktober 2025.
Menurut Usman, pola kebijakan yang menyingkirkan ruang dialog publik menjadi penyebab utama kemunduran HAM. Pemerintah dinilai lebih memilih pendekatan koersif dan militeristik dalam menghadapi kritik dan protes rakyat. “Dialog baru dilakukan jika protes telah meluas atau ketika korban sudah jatuh,” tambahnya.
Amnesty mencatat sekitar 5.538 orang menjadi korban kekerasan aparat dalam berbagai aksi protes selama setahun terakhir, mulai dari demonstrasi menolak revisi UU TNI pada Maret 2025, aksi buruh pada Mei 2025, hingga protes kenaikan tunjangan DPR pada Agustus 2025. Dari jumlah tersebut: 4.453 orang ditangkap, 744 mengalami kekerasan fisik, dan 341 terdampak penggunaan gas air mata serta water-cannon.
Lebih lanjut, 12 aktivis masih ditahan sebagai tersangka penghasutan dan dua orang dinyatakan hilang pasca-demonstrasi Agustus. Amnesty menilai pemerintah gagal menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM dalam aksi-aksi tersebut, termasuk pembunuhan terhadap 10 warga sipil. “Tim gabungan pencari fakta yang dijanjikan batal dibentuk, padahal itu sangat penting untuk mengungkap siapa yang paling bertanggung jawab,” ungkap Usman.
Ia juga menyoroti terbitnya Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2025 tentang Penindakan Aksi Penyerangan terhadap Polri, yang dinilai memperluas kewenangan penggunaan senjata api. “Alih-alih mengevaluasi kebijakan represif, negara justru melabeli pengunjuk rasa dengan istilah ‘anarkis’, ‘makar’, hingga ‘teroris’,” katanya.
Selama satu tahun terakhir, Amnesty mendata 268 kasus serangan terhadap pembela HAM, termasuk jurnalis dan pegiat adat. Bentuk serangan meliputi pelaporan ke polisi, kriminalisasi, pemukulan, hingga percobaan pembunuhan. Jurnalis dan pegiat adat menjadi korban terbanyak, masing-masing 112 dan 81 orang.
Usman mencontohkan insiden teror bom molotov terhadap kantor media Jubi di Jayapura, Papua, pada Oktober 2024 yang melibatkan unsur militer, namun hingga kini belum diselesaikan secara tuntas. Di ranah digital, terdapat 14 kasus peretasan terhadap jurnalis dan lembaga media, serta 20 kasus kriminalisasi warga lewat UU ITE.
Selain itu, Amnesty juga mencatat 13 kasus diskriminasi berbasis agama selama setahun terakhir, termasuk penyegelan rumah ibadah dan pembubaran kegiatan jemaat. Tiga di antaranya melibatkan anak-anak, seperti perundungan bernuansa SARA di Riau, pembubaran retret siswa di Cidahu, serta intoleransi di sekolah di Padang.





