Sekilas.co – Presiden Prabowo Subianto kembali menyoroti persoalan biaya politik di Indonesia yang masih sangat tinggi dalam setiap proses pemilihan umum.
Menurutnya, demokrasi idealnya dijalankan dengan ongkos politik yang wajar dan terjangkau, sehingga tidak menimbulkan beban besar bagi peserta pemilu maupun negara.
Ia menegaskan bahwa sistem yang menuntut biaya mahal selama ini justru membuka ruang praktik korupsi, karena para kandidat yang sudah mengeluarkan modal besar akan terdorong untuk melakukan berbagai cara demi mengembalikan biaya politik mereka setelah terpilih.
“Demokrasi harus mengurangi permainan uang,” ujar Prabowo dalam pidatonya saat menghadiri puncak perayaan HUT ke-61 Partai Golkar di Istora Senayan, Jakarta, Jumat (5/12/2025).
Ia menambahkan, pemilu dengan biaya terjangkau juga akan membuat kompetisi politik lebih inklusif dan memberikan kesempatan lebih luas bagi rakyat berintegritas, bukan hanya mereka yang memiliki dukungan logistik besar.
Prabowo menyebut realitas politik di Indonesia selama ini masih kerap ditentukan oleh segelintir pihak yang memiliki kekuatan finansial maupun jaringan kekuasaan yang kuat. Hal tersebut, kata dia, menghambat lahirnya pemimpin yang benar-benar mewakili kepentingan masyarakat luas.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Partai Gerindra itu mengajak seluruh kekuatan politik untuk tidak ragu mencari solusi terbaik bagi pembenahan sistem demokrasi nasional.
Ia menekankan pentingnya efisiensi dalam tata kelola politik ke depan, sekaligus menjaga semangat persatuan setelah pesta demokrasi usai. “Keyakinan saya, politik demokrasi Indonesia harus berciri: saat bertarung kita bersaing, tapi ketika selesai, kita kembali bersatu dan kompak,” tegasnya.
Prabowo sebelumnya juga pernah melontarkan gagasan mengenai perubahan sistem Pilkada langsung menjadi pemilihan tidak langsung melalui DPRD. Pandangan tersebut ia sampaikan pada perayaan ulang tahun Partai Golkar di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, pada 12 Desember 2024.
Saat itu, ia mengungkapkan kekhawatirannya terhadap tingginya anggaran negara serta biaya politik pasangan calon dalam Pilkada langsung. “Sekali memilih anggota DPR–DPRD, ya sudah, DPRD itulah yang nantinya memilih gubernur, bupati, wali kota,” kata Prabowo ketika itu.
Meski begitu, wacana tersebut menuai kritik dari sejumlah pihak. Salah satunya datang dari Titi Anggraini, dosen hukum pemilu Universitas Indonesia.
Ia menilai, meskipun sistem Pilkada langsung perlu dievaluasi agar lebih efektif dan efisien, mengembalikan kewenangan pemilihan kepala daerah kepada DPRD bukanlah solusi yang tepat. Menurutnya, pemilihan tidak langsung tidak menjamin hilangnya praktik politik uang dan justru berpotensi memperburuk keadaan.
Titi menjelaskan, peran partai politik akan menjadi sangat dominan dalam proses pencalonan apabila Pilkada sepenuhnya digelar melalui DPRD. “Politik uang bisa makin buruk apabila pemilihan dilakukan secara tidak langsung melalui wakil-wakil partai di DPRD,” ujarnya.





