Sekilas.co – Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEDPHI) menyatakan apresiasi dan dukungan penuh kepada Komisi III DPR RI serta Pemerintah yang telah menyepakati Revisi Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Menurut PEDPHI, kesepakatan tersebut menunjukkan komitmen negara dalam memperbarui sistem hukum acara pidana agar lebih modern, responsif, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat ini. Selain itu, PEDPHI menilai bahwa proses pembahasan RUU KUHAP berlangsung secara terbuka, akuntabel, dan dapat diakses publik, sehingga partisipasi masyarakat dapat terakomodasi dengan baik.
“Bahwa Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia menyatakan dukungan dan apresiasi kepada Komisi III DPR RI dan Pemerintah yang telah menyetujui naskah RUU KUHAP,” ujar Ketua Umum PEDPHI, Abdul Chair Ramadhan, dalam keterangannya, Sabtu (15/11/2025). Ia menegaskan bahwa penyusunan dan pembahasan revisi KUHAP merupakan langkah strategis dalam memperbaiki sistem peradilan pidana Indonesia yang selama puluhan tahun masih menggunakan aturan warisan lama.
Abdul menjelaskan bahwa pembahasan RUU KUHAP telah dilakukan dengan seksama melalui pelibatan para ahli, akademisi, organisasi profesi, dan lembaga-lembaga strategis terkait. Selain itu, ruang pembahasannya juga diperluas agar publik dapat memberikan masukan. Hal tersebut, menurutnya, merupakan langkah maju dalam reformasi hukum nasional karena dapat memperkaya perspektif dan menghasilkan kebijakan yang lebih komprehensif.
“Bahwa dalam RUU KUHAP telah mengandung kepastian hukum, keadilan prosedural, dan keadilan substansial. Demikian itu akan mampu mengoptimalkan bekerjanya sistem peradilan pidana terpadu,” jelasnya. Ia menilai bahwa kehadiran RUU ini tidak hanya untuk memperbaiki tata cara penegakan hukum, tetapi juga memastikan hak-hak warga negara, baik tersangka, korban, maupun penegak hukum, dilindungi secara seimbang.
Abdul juga menyoroti anggapan bahwa pengambilan keputusan terhadap RUU KUHAP belum maksimal dan perlu ditunda. Ia menilai pandangan tersebut tidak tepat. Menurutnya, penundaan justru dapat melahirkan kesempitan ruang, ketidakpastian, dan potensi kesulitan dalam penyelesaian berbagai problem hukum yang selama ini muncul dalam praktik peradilan.
“Bahwa sesuai dengan hasil Rapat Kerja Komisi III DPR RI dengan Pemerintah tentang Pengambilan Keputusan Tingkat I terhadap RUU KUHAP, maka harus segera dilakukan pembicaraan Tingkat II guna pengambilan keputusan lebih lanjut pada Paripurna DPR RI. Pilihan demikian sudah tepat mengingat waktu yang terbatas,” sambungnya.
PEDPHI melihat bahwa penyelesaian RUU KUHAP merupakan agenda penting karena aturan ini akan menjadi dasar pijakan seluruh proses penegakan hukum pidana ke depan. Semakin cepat RUU ini disahkan setelah melalui prosedur yang tepat, maka semakin cepat pula Indonesia dapat memperbarui sistem hukum acara pidananya agar relevan dengan kondisi sosial, perkembangan teknologi, serta dinamika kejahatan modern.
Lebih jauh, Abdul menegaskan bahwa pembaruan KUHAP sangat diperlukan untuk memberikan standar yang lebih jelas bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. RUU ini diharapkan dapat mereduksi multitafsir, mempertegas prosedur pemeriksaan, memperkuat mekanisme perlindungan hak asasi manusia, serta menjamin prinsip due process of law dalam sistem peradilan pidana nasional.
Dengan dukungan dan dorongan dari berbagai pihak, termasuk PEDPHI, proses finalisasi RUU KUHAP diharapkan dapat berjalan lancar hingga tahap pengambilan keputusan di Paripurna DPR RI. PEDPHI menilai bahwa momentum pembaruan ini tidak boleh terhambat agar Indonesia dapat segera memiliki sistem hukum acara pidana yang lebih modern, efektif, dan berkeadilan bagi seluruh rakyat.





