sekilas.co – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kodifikasi Rancangan Undang-Undang Pemilu mengusulkan sejumlah perubahan dalam mekanisme pelaksanaan sistem pemilu, mencakup pemilihan Presiden, DPR, DPD, DPRD, Gubernur, serta Bupati dan Wali Kota.
Perwakilan koalisi, Usep Hasan Sadikin, menyampaikan bahwa usulan ini bertujuan mewujudkan sistem pemilu yang terpadu dan konsisten antara tingkat nasional dan daerah, memperkuat keterwakilan politik serta pemerintahan demokratis, serta menjamin proses rekrutmen calon yang terbuka, partisipatif, inklusif, dan berbasis meritokrasi.
“Usulan ini juga untuk meningkatkan efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas penyelenggaraan pemilu, sekaligus memperkuat integrasi nasional melalui sinkronisasi jadwal pemilu nasional dan daerah,” ujar Usep pada Ahad, 30 November 2025.
Dalam rancangan naskah kodifikasi UU Pemilu, Usep menyebutkan koalisi mengusulkan agar pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai atau gabungan partai politik peserta pemilu DPR maksimal 30 persen dari total partai peserta pemilu DPR.
Koalisi juga mengusulkan agar proses rekrutmen calon legislator dilakukan secara terbuka, demokratis, partisipatif, inklusif, dan berbasis meritokrasi, melibatkan anggota serta kepengurusan partai di semua tingkat. “Untuk pemilu DPR, diusulkan menggunakan sistem campuran dengan model mixed member proportional (MMP),” kata Usep.
Dengan model ini, akan ada dua jenis daerah pemilihan: sistem proporsional tertutup di tingkat provinsi dan pluralitas berwakil tunggal di kabupaten/kota. Alokasi kursi DPR diusulkan seimbang, yakni 50:50 antara provinsi di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa, serta proses rekrutmen calon dilakukan terbuka, inklusif, partisipatif, demokratis, dan meritokratis.
“Partai wajib mencantumkan satu nama calon perempuan di setiap dua nama dalam daftar calon sistem proporsional tertutup, atau setidaknya satu calon perempuan di 30 persen daerah pemilihan berwakil tunggal,” tambah Usep.
Terkait ambang batas, koalisi mengusulkan minimal satu kursi di setiap daerah pemilihan. Pemilih memberikan suara dengan mencoblos satu logo partai dan satu calon legislator. “Konversi suara ke kursi mengikuti kaidah MMP dengan metode highest average Sainte-Lague untuk proporsional tertutup, dan penetapan calon terpilih sesuai MMP,” jelas peneliti Perludem itu.
Peneliti Perludem lainnya, Iqbal Kholidin, menambahkan bahwa koalisi juga mengusulkan perubahan dan harmonisasi penyelenggaraan pemilu DPRD dan kepala daerah, termasuk terkait jadwal pelaksanaan.
Dia menjelaskan, pemilu DPRD dan kepala daerah diselenggarakan dua tahun setelah pemilu presiden dan DPR, sebagaimana ditegaskan Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang memisahkan pemilu nasional dan daerah.
“Pemilu kepala daerah tetap sama, sementara pemilu DPRD dilaksanakan dengan sistem campuran model MMP seperti pemilu DPR,” ujar Iqbal.
Sebelumnya, Komisi II DPR menyatakan akan segera mengagendakan pembahasan revisi UU Pemilu, yang masuk dalam program legislasi nasional prioritas 2026.
Wakil Ketua Komisi II DPR, Zulfikar Arse Sadikin, menyampaikan bahwa komisinya sepakat memulai pembahasan RUU Pemilu dan membentuk Panitia Kerja pada awal 2026. “Wacana yang menguat, pembahasan akan menggunakan metode sesuai UU 59/2024 tentang RPJPN, yaitu kodifikasi,” jelas politikus Partai Golkar tersebut.





