Keterlibatan Perempuan di DPR Bisa Jadi Langkah Strategis Pulihkan Kepercayaan Masyarakat

foto/tempo/Savero Aristia Wienanto

Sekilas.co – Dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar segera mengakomodasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai keterwakilan perempuan di setiap alat kelengkapan dewan (AKD). Dalam putusan perkara Nomor 169/PUU-XXII/2024, MK memerintahkan agar pimpinan AKD di DPR minimal terdiri atas 30 persen perempuan.

Titi menegaskan, DPR seharusnya segera mengeksekusi putusan tersebut tanpa harus menunggu revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

Baca juga:

“Karena karakter dari Putusan MK Nomor 169 ini adalah bersifat self-executing. Putusan MK itu sendiri bersifat final dan mengikat,” ujar Titi dalam diskusi daring yang diselenggarakan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pada Minggu, 9 November 2025.

Ia menjelaskan, istilah self-executing berarti bahwa DPR dapat langsung melaksanakan putusan MK tanpa perlu menunggu peraturan tambahan sebagai dasar pelaksanaannya. Karena itu, menurutnya, tidak ada alasan bagi DPR untuk menunda implementasi keterwakilan perempuan di dalam alat kelengkapan dewan.

Meski demikian, Titi tetap mendorong agar ketentuan minimal keterwakilan perempuan tetap dimasukkan dalam revisi UU MD3. Hal ini penting sebagai jaminan konstitusional agar lembaga legislatif lain seperti MPR, DPD, dan DPRD juga dapat menindaklanjuti putusan MK secara seragam.

Titi menjelaskan, meskipun putusan MK tersebut hanya mengatur kewajiban DPR karena permohonan uji materi yang diajukan memang terbatas pada pasal-pasal terkait AKD DPR, namun berdasarkan azas mutatis mutandis, ketentuan itu seharusnya juga berlaku bagi lembaga legislatif lainnya. Dengan demikian, revisi UU MD3 bisa menjadi payung hukum yang memperluas penerapan prinsip keterwakilan perempuan di seluruh lembaga perwakilan rakyat.

Lebih jauh, Titi menilai putusan MK ini dapat menjadi titik balik bagi DPR untuk memulihkan kepercayaan publik yang kian menurun. Berdasarkan hasil survei Indikator Politik Indonesia mengenai evaluasi satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran, DPR tercatat sebagai lembaga negara paling tidak dipercaya oleh masyarakat. Dalam survei yang dilakukan pada 20–27 Oktober 2025, mayoritas responden menempatkan DPR di posisi terbawah dalam hal tingkat kepercayaan publik, bahkan di bawah partai politik.

Menurut Titi, pelaksanaan putusan MK mengenai keterwakilan perempuan bisa menjadi langkah konkret DPR untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat.

“Melalui komitmen dan iktikad baik untuk konsisten melaksanakan apa yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.

Ia meyakini bahwa jika DPR sungguh-sungguh memenuhi keterwakilan perempuan sebagaimana diatur MK, maka lembaga legislatif itu akan dipandang sebagai institusi yang patuh terhadap konstitusi, serta memiliki karakter inklusif dan terbuka terhadap perubahan.

Namun, Titi juga mengingatkan agar DPR tidak mengulangi sikap abai seperti saat putusan MK tentang penurunan ambang batas pencalonan kepala daerah (pilkada) pada Agustus 2024.

“Jangan sampai DPR kembali mengabaikan, apalagi membangkang terhadap putusan MK terkait keterwakilan perempuan,” tegasnya.

Ia menambahkan, distribusi keterwakilan perempuan sangat penting karena dapat memperkaya perspektif dan memengaruhi paradigma kerja DPR dalam menyusun kebijakan publik.

“Dengan sebaran perempuan yang dijamin konstitusi, DPR bisa bekerja lebih optimal, lebih peka terhadap isu-isu sosial dan keadilan,” katanya.

Titi juga menegaskan bahwa upaya tersebut tidak bisa berdiri sendiri, melainkan membutuhkan dukungan dari partai politik dan fraksi-fraksi di parlemen tempat para anggota perempuan berasal.

Artikel Terkait