Sekilas.co – Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Nurdin Halid, menegaskan bahwa kebijakan impor Bahan Bakar Minyak (BBM) melalui PT Pertamina (Persero) bukan merupakan bentuk monopoli usaha, melainkan pelaksanaan amanat konstitusi dalam menjaga ketahanan energi nasional.
Menurut Nurdin, keputusan pemerintah yang memberikan mandat kepada Pertamina sebagai pelaksana utama kebijakan impor BBM sepenuhnya sejalan dengan semangat konstitusi, khususnya Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yang mengatur bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara.
“BBM adalah kebutuhan pokok rakyat. Karena itu, negara wajib hadir sebagai pengendali utama melalui Pertamina. Kebijakan impor BBM melalui Pertamina sepenuhnya selaras dengan mandat konstitusi dan semangat Ekonomi Pancasila,” ujar Nurdin dalam pernyataan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Senin.
Ia menambahkan bahwa kehadiran negara melalui Pertamina justru memastikan keberlangsungan pasokan energi, menjaga harga tetap stabil, dan melindungi rakyat dari gejolak pasar global yang tidak menentu. Dalam pandangannya, kebijakan impor BBM oleh Pertamina merupakan bentuk tanggung jawab negara terhadap kebutuhan dasar masyarakat, bukan dominasi atau pemusatan kekuasaan usaha.
Lebih lanjut, Nurdin menjelaskan bahwa SPBU swasta tetap diberikan ruang dalam skema penyediaan BBM. Ia mengungkapkan bahwa kuota impor bagi SPBU swasta bahkan telah ditingkatkan sebesar 10 persen dari tahun sebelumnya, yakni dari 1 juta kiloliter pada 2024 menjadi 1,1 juta kiloliter pada 2025. Namun, jika kuota tersebut telah habis digunakan, maka pembelian base fuel dilakukan melalui Pertamina sesuai dengan kesepakatan yang telah terjalin antara pihak swasta dan BUMN tersebut.
Menurutnya, mekanisme ini memastikan adanya kolaborasi antara negara dan sektor swasta, bukan penguasaan tunggal oleh salah satu pihak. Komisi VI DPR RI juga memandang bahwa kritik yang menyebut skema impor satu pintu sebagai bentuk monopoli terlalu simplistis dan mengabaikan prinsip Ekonomi Pancasila, yakni keseimbangan antara efisiensi dan pemerataan.
“Peran swasta tetap terbuka, tetapi harus dalam kerangka kolaborasi bersama negara. Jika impor dibebaskan sepenuhnya kepada swasta, apalagi pihak asing, maka kendali pasokan energi nasional bisa lepas dari tangan negara,” tegasnya.
Terkait isu gangguan distribusi BBM di sejumlah SPBU swasta belakangan ini, Nurdin mengklarifikasi bahwa hal tersebut bukan disebabkan oleh keterbatasan pasokan BBM secara nasional. Sebaliknya, gangguan tersebut lebih disebabkan oleh dinamika internal perusahaan masing-masing yang berkaitan dengan manajemen pasokan dan pengelolaan distribusi.
Ia juga menekankan bahwa pemerintah bersama Pertamina terus melakukan pengelolaan kuota impor secara presisi dan terukur, agar tidak memberikan tekanan terhadap devisa negara maupun neraca transaksi berjalan, terutama di tengah fluktuasi harga minyak dunia yang tidak menentu.
Adapun kesepakatan terbaru antara Pertamina dan SPBU swasta mencakup empat poin utama, yaitu:
-
Pembelian pasokan BBM melalui skema base fuel dari Pertamina.
-
Jaminan mutu produk yang diawasi oleh surveyor independen.
-
Harga yang adil dan transparan bagi semua pihak.
-
Implementasi cepat, dengan target pasokan masuk dalam tujuh hari ke depan.
Nurdin menilai bahwa skema impor satu pintu justru memperkuat stabilitas nasional dalam sektor energi, mengamankan harga, dan memberikan perlindungan terhadap perekonomian nasional dari gejolak global yang berdampak langsung terhadap masyarakat.
“Kenapa harus Pertamina? Karena Pertamina adalah representasi negara, simbol hadirnya pemerintah dalam mengelola energi. Hajat hidup orang banyak tidak boleh sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar semata,” pungkas Nurdin.
Ia juga menegaskan bahwa DPR, khususnya Komisi VI, akan terus mengawal kebijakan energi nasional agar tetap berpihak pada rakyat dan menjaga ketersediaan serta keterjangkauan energi di seluruh wilayah Indonesia.





