Donald Trump Dorong Warga AS Punya Banyak Anak, Janjikan Insentif hingga Rp16 Juta

foto/istimewa

Sekilas.coPemerintahan Donald Trump tengah gencar mengampanyekan kebijakan peningkatan angka kelahiran di Amerika Serikat. Ajakan tersebut disampaikan sebagai respons terhadap tren penurunan populasi yang dikhawatirkan akan berdampak pada masa depan ekonomi, produktivitas tenaga kerja, hingga kesejahteraan sosial negara. Pemerintah memandang bahwa pertumbuhan penduduk yang melambat bisa membuat berbagai sektor pembangunan terhambat dalam jangka panjang.

Sebagai bentuk dorongan, Trump menawarkan program insentif berupa bonus bayi senilai US$1.000 (sekitar Rp16 juta) untuk setiap kelahiran. Harapannya, bantuan finansial itu menjadi pemicu bagi pasangan muda untuk lebih percaya diri dalam memiliki anak. Selain itu, pemerintah juga menjanjikan akses yang lebih luas terhadap layanan fertilisasi atau program kehamilan seperti in vitro fertilization (IVF) dengan biaya yang lebih terjangkau.

Baca juga:

Namun rencana tersebut ternyata tidak sepenuhnya diterima dengan tangan terbuka oleh generasi muda. Banyak kelompok yang merasa insentif itu tidak sebanding dengan kenyataan hidup di AS saat ini, seperti tingginya biaya pendidikan, harga sewa tempat tinggal yang terus meningkat, hingga ketidakpastian ekonomi.

Salah satunya dirasakan oleh Maddy Olcott, mahasiswi tingkat tiga di State University of New York–Purchase College. Ia menilai kebijakan tersebut kurang menyentuh akar persoalan yang selama ini menjadi alasan utama generasi muda menunda memiliki keluarga.

Negara kita ingin kami menjadi mesin melahirkan, tetapi mereka justru memotong sumber daya yang sudah ada,” ucap Olcott, dengan nada frustrasi.

“Dan bonus bayi US$1.000? Jujur saja, apa, bro? Itu bahkan tidak cukup untuk bayar sewa tempat tinggalku sebulan.”

Banyak warga menganggap bahwa insentif itu hanya solusi jangka pendek yang tidak realistis karena biaya membesarkan anak di AS sangat tinggi, mulai dari kebutuhan dasar, kesehatan, hingga pendidikan yang bisa mencapai ratusan ribu dolar hingga anak mencapai usia dewasa.

Di sisi lain, pemerintahan Trump tetap bersikukuh bahwa kebijakan natalitas merupakan investasi bagi masa depan bangsa. Ia bahkan sempat menyebut dirinya sebagai “presiden fertilisasi”, menggambarkan komitmennya dalam mendukung pasangan yang ingin memiliki keturunan.

Data dari berbagai lembaga kesehatan di AS menunjukkan tingkat kelahiran nasional cenderung menurun sejak 2007, dengan penurunan rata-rata sekitar 2% per tahun pada periode 2015–2020. Meski sempat berfluktuasi, tren kelahiran belum kembali stabil seperti dua dekade sebelumnya.

Sebagian gagasan kebijakan tersebut tertuang dalam dokumen Project 2025, sebuah rancangan kebijakan konservatif yang diprakarsai oleh Heritage Foundation dan disebut-sebut menjadi rujukan utama dalam agenda pembangunan Trump. Dokumen itu menyatakan bahwa keluarga ideal terdiri dari ayah dan ibu yang menikah secara heteroseksual, serta menekankan tanggung jawab moral warga negara untuk memperbanyak keturunan.

Pandangan tersebut menuai kritik luas dari berbagai aktivis dan kelompok masyarakat sipil. Mereka menilai bahwa kebijakan itu masih sarat dengan pendekatan tradisional yang tidak mempertimbangkan keberagaman keluarga modern, serta berpotensi menekan hak reproduksi perempuan. Kebijakan tersebut juga mencakup pembatasan akses terhadap obat aborsi seperti mifepristone dan mendorong pembatasan pendanaan Medicaid untuk fasilitas kesehatan reproduksi seperti Planned Parenthood.

Kritikus khawatir bahwa pemerintah terlalu fokus mengejar angka kelahiran tanpa memberikan dukungan nyata untuk kesejahteraan keluarga secara menyeluruh, seperti cuti melahirkan yang layak, layanan penitipan anak yang terjangkau, dan jaminan kesehatan yang komprehensif.

Hingga kini, perdebatan mengenai program bonus bayi tersebut masih berlangsung. Pemerintahan Trump meyakini insentif finansial dan kebijakan fertilitas dapat mengembalikan angka kelahiran ke arah positif, sementara masyarakat terutama generasi muda justru mempertanyakan apakah negara benar-benar siap membantu mereka dalam membesarkan anak, bukan hanya menyuruh mereka untuk memiliki lebih banyak keturunan.

Artikel Terkait