sekilas.co – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mendesak Kementerian Kehutanan untuk mencabut izin perusahaan-perusahaan yang dianggap turut menyebabkan banjir bandang dan tanah longsor di wilayah Sumatera. Kepala Divisi Kampanye WALHI, Uli Artha Siagian, menilai pemerintah perlu mengambil langkah yang lebih tegas dan cepat dalam mengevaluasi perizinan korporasi tersebut, mengingat besarnya dampak kerusakan lingkungan dan banyaknya korban jiwa.
“Kami juga meminta pemerintah menghentikan penerbitan izin baru selama proses penegakan hukum ini berlangsung,” ujar Uli dalam pernyataan tertulis pada Rabu, 10 Desember 2025.
Menurut catatan WALHI, sedikitnya ada 13 perusahaan di sektor kehutanan, tambang, dan perkebunan yang aktivitasnya diduga kuat mengurangi kapasitas lingkungan secara signifikan. Uli juga menyampaikan bahwa WALHI mencatat keberadaan 62 tambang emas ilegal di Solok dan Sijunjung, Sumatera Barat, serta adanya alih fungsi 5.208 hektare hutan di Aceh menjadi kebun sawit oleh 14 korporasi, yang kemudian berdampak pada kerusakan 954 daerah aliran sungai (DAS) di wilayah tersebut.
Di Sumatera Utara, WALHI juga menemukan bahwa lokasi yang terdampak bencana berada di kawasan ekosistem Harangan Tapanuli atau Batangtoru yang mencakup Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, dan Kota Sibolga. Berdasarkan catatan WALHI dari 2016 hingga 2024, kawasan Batangtoru telah kehilangan 72.938 hektare hutan akibat aktivitas 18 perusahaan.
Uli menekankan bahwa untuk mencegah bencana ekologis berulang dan memastikan proses hukum berjalan sesuai aturan, khususnya Pasal 72 Undang-Undang Kehutanan, pemerintah perlu membentuk Satuan Tugas khusus untuk mengevaluasi perizinan dan aktivitas ilegal di kawasan hutan. “Tanpa tindakan penegakan hukum yang tegas, masyarakat dan lingkungan akan terus menanggung akibatnya,” katanya.
Pada Senin, 8 Desember lalu, Kementerian Kehutanan mengumumkan telah menyegel tiga subjek hukum yang diduga terlibat dalam bencana ekologis di Sumatera. Dengan penyegelan tersebut, total sudah tujuh subjek hukum yang dikenakan tindakan oleh kementerian. “Siapa pun yang merusak hutan akan kami tindak,” ujar Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni.
Ia menambahkan bahwa masih ada lima subjek hukum lain yang teridentifikasi menyebabkan kerusakan ekologi di kawasan Sumatera, khususnya di DAS Batangtoru, dan mereka akan segera diperiksa lebih lanjut. Jika terbukti melanggar, kata dia, langkah penyegelan akan kembali dilakukan, tanpa memperhatikan status apakah pelakunya merupakan perusahaan besar atau pemilik hak atas tanah (PHAT). “Penegakan hukum harus dilakukan tanpa pandang bulu,” tegas politikus PSI tersebut.
Sementara itu, Kepala Kampanye Global Greenpeace untuk Hutan Indonesia, Kiki Taufik, mengapresiasi langkah Kementerian Kehutanan menyegel korporasi yang diduga terlibat dalam kerusakan lingkungan, meski menurutnya tindakan itu terkesan lambat dan baru dilakukan setelah adanya tekanan publik. Ia mengingatkan agar pemerintah benar-benar berkomitmen dalam penegakan hukum serta menjamin integritas pelaksanaan audit lingkungan.
Kiki menilai bahwa selain komitmen, transparansi pemerintah dalam setiap langkah penindakan juga sangat penting agar masyarakat dapat ikut mengawasi. Ia juga menyoroti kasus pengembalian izin PT GAG Nikel di Raja Ampat, yang sebelumnya dihentikan namun kemudian kembali diberikan izin setelah enam bulan. “Dalam penegakan hukum, pemerintah harus memastikan bahwa tanggung jawab lingkungan tetap dipenuhi. Itu juga menjadi hal yang krusial,” ujarnya.





