Sekilas.co – Dalam beberapa pekan terakhir, sorotan publik terhadap Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kembali menguat. Berbagai peristiwa, mulai dari gelombang demonstrasi besar di sejumlah kota hingga tragedi yang melibatkan pengemudi ojek online, memunculkan pertanyaan serius tentang akuntabilitas aparat penegak hukum.
Situasi ini juga melahirkan desakan dari sebagian pihak agar Kapolri segera diganti. Namun, perlu dipahami, apakah benar pergantian pucuk pimpinan bisa menjadi jawaban dari persoalan mendasar yang dihadapi Polri?
Tuntutan publik atas akuntabilitas tentu wajar, mengingat Polri merupakan institusi negara yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Akan tetapi, mengaitkan semua permasalahan hanya pada sosok Kapolri dapat menyesatkan arah reformasi. Problem utama Polri jauh lebih kompleks, mencakup dimensi struktural, instrumental, dan kultural yang tidak bisa selesai hanya dengan mengganti figur.
Sejak sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, wacana reformasi Polri sudah digaungkan. Keseriusan itu kemudian dituangkan dalam peta jalan “Grand Strategy Polri”. Tahun 2025 bahkan menjadi titik penting karena Polri sedang menyiapkan kelanjutan strategi jangka panjang, yakni Grand Strategy Polri 2025–2045, yang berorientasi pada adaptasi teknologi, penanggulangan kejahatan yang semakin kompleks, serta tuntutan transparansi publik.
Konsep Polri Presisi, prediktif, responsif, transparan, dan berkeadilan yang diperkenalkan Kapolri Listyo Sigit Prabowo sejak 2021, menjadi bagian dari upaya transformasi menyeluruh. Tidak hanya di level operasional, tetapi juga dalam pengawasan internal, manajemen SDM, pelayanan publik berbasis teknologi, serta penguatan etika dan moral aparat. Profesionalisme polisi kini tidak cukup hanya diukur lewat kemampuan teknis, melainkan juga integritas dan sikap humanis terhadap masyarakat.
Pendidikan dan pelatihan pun perlu diarahkan pada pembentukan karakter, empati sosial, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dalam kerangka ini, respons cepat Kapolri terhadap tragedi ojol saat demonstrasi beberapa waktu lalu patut dilihat sebagai bagian dari upaya membangun empati sosial. Langkah tersebut bahkan mendapat dukungan sejumlah pejabat dan institusi lain.
Penting dicatat, desakan publik bukanlah bentuk penolakan terhadap Polri sebagai institusi, melainkan tuntutan agar janji reformasi benar-benar diwujudkan. Tragedi yang merenggut nyawa sipil tidak semata-mata mencerminkan kegagalan aparat, tetapi juga menggambarkan dilema psikologis yang dihadapi petugas lapangan saat harus mengambil keputusan dalam kondisi genting.
Dalam situasi seperti ini, wacana penggantian Kapolri memang menyeruak. Namun, langkah itu sebaiknya ditempatkan secara proporsional. Kapolri saat ini telah berusaha menjalankan agenda reformasi lewat Polri Presisi. Perubahan di tingkat struktur dan sistem memang mulai terlihat, tetapi perubahan kultur membutuhkan waktu lebih panjang karena menyangkut pembentukan pola pikir, nilai, dan budaya kerja.
Reformasi kultural menjadi kunci utama. Polri harus meninggalkan warisan budaya feodal-patrimonial menuju kultur yang profesional dan humanis. Hal ini tidak bisa hanya lewat instruksi, melainkan melalui teladan kepemimpinan. Tanpa transformasi budaya institusional, reformasi struktural hanya akan menjadi kosmetik.
Sejumlah organisasi masyarakat seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, hingga MUI bahkan mengingatkan agar tidak terburu-buru mengganti Kapolri. Stabilitas internal Polri harus dijaga, sebab instabilitas justru berpotensi mengganggu keamanan nasional.
Reformasi sejati membutuhkan proses panjang dan terukur, bukan reaksi sesaat. Alih-alih sibuk mempersoalkan figur Kapolri, fokus utama mestinya diarahkan pada strategi perubahan nyata, baik di level organisasi, pelayanan publik, operasional, maupun pengawasan.
Setidaknya ada lima langkah strategis yang perlu ditempuh. Pertama, evaluasi menyeluruh terhadap sistem komando dan pola pelibatan kekuatan dalam penanganan unjuk rasa, dengan mengedepankan dialog dan deeskalasi konflik. Kedua, memperkuat komunikasi publik secara terbuka dan transparan, sesuai mandat UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, agar kepercayaan masyarakat meningkat.
Dengan langkah-langkah strategis tersebut, reformasi Polri bisa berjalan ke arah transformasi sejati, bukan sekadar perubahan simbolik yang berhenti di pergantian pimpinan.





