Program Diversifikasi Pangan Pemerintah Dipertanyakan, Indonesia Terancam Krisis Jika Hanya Jadi Wacana

foto/kompas/HERU DAHNUR

Sekilas.co – Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University, Dwi Andreas Santosa, menilai bahwa program diversifikasi pangan yang selama ini digaungkan pemerintah masih sebatas retorika. Menurutnya, kebijakan tersebut lebih sering dijalankan secara seremonial ketimbang nyata menyentuh kebutuhan masyarakat.

“Tidak terlihat adanya niat kuat dari pemerintah untuk sungguh-sungguh menjalankan diversifikasi. Anggaran yang ada lebih banyak terserap untuk urusan pegawai dan perjalanan dinas, bukan untuk programnya. Tidak ada satu pun dana yang benar-benar dialokasikan ke lapangan. Inilah masalah besar kita,” ujar Andreas dalam sebuah webinar pekan lalu.

Baca juga:

Ia menjelaskan, potensi pangan lokal seperti sorgum, sagu, hingga ubi kayu semakin terabaikan, padahal bisa menjadi alternatif pengganti beras dan gandum. Masyarakat pun semakin terbiasa mengonsumsi beras dan gandum sehingga sulit dialihkan.

“Selera masyarakat sudah terbentuk. Jika pemerintah tidak punya kemauan kuat serta dukungan dana memadai, wacana diversifikasi pangan hanya akan jadi omon-omon saja,” tegas Andreas.

Andreas juga menyinggung soal sejarah politik pangan Indonesia. Sebelum 1960-an, sekitar 50 persen konsumsi masyarakat bukan beras. Di Jawa, misalnya, masyarakat mengandalkan polo pendem, umbi-umbian dan kacang-kacangan, sebagai cadangan pangan saat paceklik, meskipun Jawa adalah lumbung padi utama. Namun, sejak era Presiden Soeharto, beras dipaksakan menjadi makanan pokok tunggal melalui program swasembada beras pada 1984. Sejak itu, pangan lokal semakin terpinggirkan.

Selain itu, kebijakan bantuan sosial juga memperkuat dominasi beras. “Kenapa dulu ada Raskin, lalu Rastra, semuanya dalam bentuk beras dan berlaku di seluruh Indonesia. Itu semakin mengakar kebiasaan makan beras,” jelas Andreas.

Kebiasaan ini bahkan meluas ke Papua, yang sebelumnya mengandalkan sagu. Pemerintah mendorong masyarakat beralih ke beras karena dianggap lebih praktis dibandingkan mengolah sagu atau jagung yang membutuhkan waktu lama. Krisis pangan pada akhir 1960-an juga diatasi dengan bantuan gandum dari Amerika Serikat, sehingga sejak 1970-an Indonesia mulai menjadi pengimpor gandum.

“Sekarang, proporsi gandum sudah mencapai 28 persen dari pangan pokok kita. Jika tren ini berlanjut, saat Indonesia berusia 100 tahun, gandum bisa mencapai hampir 50 persen dari konsumsi nasional. Karena seluruhnya impor, ketergantungan ini berbahaya dan menempatkan kita di ambang krisis,” ujar Andreas.

Artikel Terkait