Larangan Politik Dinasti di Pilkada Pernah Ditetapkan, Namun Dibatalkan oleh MK

foto/ilustrasi

Sekilas.co – Fenomena politik dinasti di Indonesia kian nyata terlihat dalam praktik kekuasaan di berbagai daerah. Gambaran yang sering dijumpai, misalnya, seorang suami menjabat sebagai kepala daerah, lalu sang istri duduk sebagai anggota parlemen di Senayan. Tak berhenti di situ, anaknya kemudian menduduki kursi wakil wali kota, sementara ipar atau kerabat dekat lainnya menguasai wilayah di daerah tetangga.

Pola penguasaan politik yang berputar pada lingkaran keluarga tertentu ini semakin dianggap lazim dalam khazanah politik Indonesia. Ironisnya, fenomena tersebut bukan hanya muncul pada satu atau dua periode kepemimpinan saja, melainkan sudah terjadi sejak rakyat diberikan kedaulatan untuk memilih pemimpinnya secara langsung pasca tumbangnya rezim Orde Baru pada 1998.

Baca juga:

Maraknya praktik politik dinasti membuat sejumlah pihak khawatir, sebab dinasti politik dianggap mengikis kualitas demokrasi serta membuka ruang bagi praktik penyalahgunaan kekuasaan. Menyadari ancaman tersebut, Indonesia sebenarnya pernah memiliki aturan untuk membatasi bahkan melarang praktik politik dinasti. Akan tetapi, aturan ini akhirnya gugur setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkannya, sehingga tidak sempat benar-benar menjadi instrumen hukum yang kuat bagi rakyat untuk menikmati iklim politik yang lebih sehat.

Salah satu tokoh yang menggagas lahirnya aturan larangan politik dinasti adalah Djohermansyah Djohan, Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri periode 2010–2014. Pria yang akrab disapa Prof Djo ini mengungkapkan bahwa gagasan pembatasan politik dinasti bermula dari kekhawatiran atas situasi politik di Indonesia pada tahun 2011. Kala itu, ia yang masih menjabat sebagai Dirjen Otda memperoleh data mengenai penyebaran praktik politik dinasti di sejumlah daerah.

“Ketika pada tahun 2011 kita ingin menyusun UU Pilkada, maka kita menemukan data lapangan, 61 orang kepala daerah dari 524 kepala daerah atau sekitar 11 persen terindikasi menerapkan politik dinasti yang tidak sehat,” ungkap Djo saat dihubungi Kompas.com, Selasa (30/9/2025). Dari temuan tersebut, ia menemukan adanya pola estafet kekuasaan dalam lingkaran keluarga. Misalnya, setelah seorang kepala daerah menjabat dua periode, kursinya lalu digantikan oleh istrinya.

Djo menuturkan, banyak di antara istri mantan kepala daerah yang hanya memiliki latar belakang pendidikan SLTA dan pengalaman organisasi terbatas, umumnya hanya sebatas Ketua Tim Penggerak PKK. Namun, mereka tetap didorong untuk maju sebagai calon kepala daerah dan akhirnya berhasil terpilih. “Suaminya dua periode, kemudian digantikan istrinya yang cuma Ketua PKK, pendidikannya terbatas, cuma SLTA. Banyak sekali kasus Ketua PKK jadi wali kota,” kata Djo.

Tidak hanya istri, anak kepala daerah yang baru lulus kuliah pun sering kali diarahkan untuk maju pilkada menggantikan ayahnya. Anak-anak muda yang masih berstatus “fresh graduate” ini umumnya belum memiliki pemahaman yang matang terkait birokrasi maupun tata kelola pemerintahan. Alhasil, meskipun secara formal sang anak yang menjabat, kendali pemerintahan sesungguhnya masih berada di tangan ayahnya. “Anaknya itu hanya namanya saja yang menjabat, tapi yang menjalankan pemerintahan tetap bapaknya,” jelas Djo.

Menurutnya, kondisi ini menciptakan ladang subur bagi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pasalnya, pergantian pemimpin yang hanya berputar di lingkaran keluarga membuat pejabat birokrasi hingga jaringan kontraktor yang dibentuk kepala daerah sebelumnya tetap bertahan. Hal ini memperkuat jejaring kepentingan yang sulit ditembus pihak luar.

Berangkat dari temuan tersebut, Djo bersama sejumlah tokoh kemudian merumuskan aturan pembatasan politik dinasti dalam rancangan Undang-Undang Pilkada. RUU tersebut berisi ketentuan yang melarang kerabat dekat kepala daerah untuk langsung mencalonkan diri pada pilkada berikutnya. Mereka tetap boleh maju, tetapi hanya setelah melewati masa jeda satu periode setelah kerabatnya tidak lagi menjabat.

“Larangan itu jelas, kalau mau maju pilkada, kerabat dari kepala daerah yang sedang menjabat harus menunggu satu periode. Jadi, ketika bapaknya sudah tidak lagi menjadi kepala daerah, barulah boleh maju,” terang Djo. Ia menegaskan, jika kerabat kepala daerah tetap maju ketika saudaranya masih menjabat, maka potensi keberpihakan pasti sangat besar. “Kalau anaknya maju, bapaknya pasti tolongin anaknya. Mana ada bapak yang tidak nolong anak atau istrinya, kecuali hari kiamat,” ujarnya.

Larangan politik dinasti tersebut akhirnya masuk ke dalam sistem hukum Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2015 mengenai Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Sayangnya, meskipun sempat menjadi bagian dari undang-undang, larangan ini kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi sehingga tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Artikel Terkait